Tuesday 19 March 2013

Cerita Dewasa | Seks Nikmat Di kampus


Hari itu jam sebelas kurang di gedung administrasi pusat Universitas  ******. Nampak beberapa orang sedang berdiri di depan pintu lift. Tak  lama kemudian pintu lift sebelah kiri yang menuju ke atas membuka, lima  orang masuk sedangkan sisanya menunggu lift berikut karena berlawanan  jurusan. “Tunggu-tunggu, sori tahan bentar !” kata seorang wanita dari luar  sambil berlari-lari kecil menuju lift yang pintunya sudah mau menutup  itu. Seorang pria dari dalam yang dekat tombol lift menahan tombol open  sehingga wanita muda itu tidak ketinggalan lift. Setelah pintu menutup  lift pun bergerak ke atas. Di lantai tiga seorang wanita 30an dan  seorang pria yang berseragam staff administrasi keluar. Lift naik lagi  hingga berhenti di lantai lima dimana pria yang menahan pintu lift tadi  turun dan di tingkat berikutnya seorang mahasiswi turun, sepertinya dia  hendak mengurus biaya kuliah karena di tingkat itu adalah ruang bagian  keuangan. Maka kini di lift tinggal dua orang saja, yaitu wanita muda  tadi dan seorang pria tambun.  

“Emmm…Bu Rania yah !” sapa pria tambun itu sehingga si wanita menoleh ke  belakang dan agak kaget bagimana pria ini mengenal dirinya. Rania memang mengenal pria ini sebagai Pak Dahlan, kepala fakultas  arsitektur, tapi hanya sekedar tahu saja karena mereka tidak pernah  berhubungan karena jurusan berbeda dan Rania juga hanya dosen muda dan  hubungannya dengan dosen fakultas lain tidak terlalu luas. Sekarang ini  dirinya sedang hendak mewakili kepala jurusaannya yang berhalangan hadir  untuk mengikuti rapat umum di ruang rapat lantai 12. “Mau rapat Bu ?” tanya pria itu. “Eengg…iya…iya Pak” Rania tersenyum kecil menjawabnya lalu berbalik lagi menatap indikator lift. Walaupun bersikap sopan, namun Rania merasa tidak nyaman berada satu  lift dengan pria ini, entah mengapa instingnya mengatakan demikian, dia  merasa lift berjalan lambat sekali. 

Firasat tidak baik itu terbukti  ketika tiba-tiba ada tangan dari belakang menepuk pantatnya dan  meremasnya. Spontan Rania pun kaget dan membalikkan badan. “Kurang ajar ! apa-apaan sih Pak !” bentaknya dengan marah. “Hehehe…memangnya kenapa Bu, Pak Imron aja boleh kan ?” ujar Pak Dahlan enteng. Rania tertegun seperti disambar petir mendengar perkataaan pria itu. “A-apa, apa…Bapak ngomong apa ?” suaranya terasa berat karena terkejut. “Nah kan bener, dari reaksinya aja saya tau tuh” “Gimana mungkin dia tau ?” Rania bertanya dalam hati dan menyesal karena tidak bisa menahan rasa nervousnya. “Maksud Bapak apa…saya peringatkan jangan macam-macam Pak !” gertaknya menutupi rasa gugup. “Ah, Ibu ini masa gak ngerti sih maksud saya apa ? kita kan sudah  sama-sama dewasa Bu” katanya sambil mendekat dan meraih lengan Rania  “saya sudah tau semua Bu, masa sih ada dosen main lesbian sama  mahasiswinya hehehe…!” “Bapak mengancam saya ya !” bentak Rania sambil menyentak tangannya. ‘Ting !’ lift sampai ke lantai 12 yang dituju sehingga keduanya menjaga sikap agar tidak terlihat mencurigakan. “Pikirkan lagi yah Bu, saya dengar keputusannya setelah rapat” katanya  pelan sambil berjalan keluar dari lift dan sempat mencolek pantat Rania. “Huh…bangsat nih orang !” makinya dalam hati. 

Disana sudah cukup banyak orang berkumpul, sebagian sudah menempati  kursinya di ruang rapat, sebagian lainnya masih di luar ngobrol-ngobrol  dengan rekannya atau merokok. Walau hatinya galau, Rania berusaha agar  dapat tersenyum dan berbasa-basi bila ada orang menyapanya. Rapat pun  akhirnya dimulai, Rania tidak bisa sepenuhnya berkonsentrasi pada hal  yang dibahas karena terganggu oleh yang satu itu. Dia membalas senyum  Pak Dahlan yang duduk berseberangan dengannya itu dengan pandangan  tajam, rasanya ingin melempar botol air mineral mejanya ke wajah pria  itu kalau saja emosinya meledak. Hatinya makin membara ketika Pak Dahlan  angkat bicara, pria itu jelas sedang menyindirnya di depan dosen-dosen  lain dengan berlagak sok bermoral. “Hhh…saya rasa kampus kita ini perlu merevisi tata-tertib agar lebih  ketat, soalnya belakangan ini saya dengar mahasiswa-mahasiswa kita ini  makin nggak karuan tingkah lakunya, mau jadi apa bangsa kita kalau  moralnya begini…yang lebih gila saya pernah dengar…ini nggak tau benar  atau nggak ya…dosen juga ada yang kebawa-bawa” Rania menjaga sikapnya senormal mungkin agar para peserta rapat tidak  curiga, padahal dalam hatinya ia benar-benar marah pada pria itu, atas  sikapnya yang kurang ajar dan kemunafikannya yang memuakkan.

 Jam 12.15 rapat dihentikan sementara untuk jam makan siang dan akan  dilanjutkan jam 1.00. Rania buru-buru keluar dari ruang itu bersama dua  dosen wanita lainnya yang mengajaknya makan siang bersama. Dia berharap  dengan begitu dapat terhindar dari Pak Dahlan sementara pria itu juga  masih berbincang-bincang dengan seorang dosen lain di ruang rapat. “Aduh lama banget sih ! cepetan dong !” serunya dalam hati karena merasa cemas pria itu akan menyusulnya. Lift makin naik, namun ketika baru menunjukkan tiba di lantai 10,  tiba-tiba terdengar dari belakang namanya dipanggil, suara itu  dikenalnya dan tidak diharapkannya. “Bu…Bu Rania tunggu sebentar, saya harus bicara dengan ibu sebentar !”  panggil Pak Dahlan, “Eh…maaf ngeganggu bentar yah…udah pada pengen makan  yah ?” sapanya pada dua dosen wanita yang bersama Rania. Rania tidak mungkin bersikap judes padanya disitu karena justru akan mengundang kecurigaan orang. “Oh…iya Pak ada apa yah ?” tanyanya dengan sikap ramah dibuat-buat. “Hhmm…kalau Bu Nia buru-buru ya udah nggak apa-apa deh, hanya masalah  yang terlewat saja kok, saya pikir bisa dibahas sekarang supaya Ibu  lebih nyantai, nggak repot lagi ntar !” nada bicara Pak Dahlan begitu  kebapakan dan berwibawa bila di depan umum seperti ini, sungguh pandai  dia menutupi tabiat mesumnya. 

Rania tahu apa yang dimaksud ‘repot’ oleh pria tambun itu sehingga  dengan terpaksa dia memilih berbicara dulu dengan pria itu dan menyuruh  kedua rekannya pergi makan siang tanpa dirinya. “Maaf yah…saya ada urusan sebentar, kalian duluan aja deh ga usah nunggu  saya, ini ada urusan dikit. Biasalah kalau mewakili orang jadi banyak  yang harus diomongin hehehe…!” katanya pada kedua dosen itu. “Ya udah deh Bu Nia, kita duluan deh kalau sempat nyusul saja yah di  seberang !” kata dosen wanita yang gemuk itu sebelum masuk ke lift. Begitu pintu lift menutup senyum di wajah Rania langsung berganti dengan wajah masam yang diarahkan pada pria itu. “Ada apa sih Pak ?” tanyanya ketus. “Hehe…jangan galak gitu Bu, nggak enak kalau ada yang liat, gimana nih jadi keputusannya ?” tanyanya kalem. “Saya benar-benar ga nyangka kalau anda itu begitu menjijikkan !” Rania melipat tangan dengan memandang jijik padanya. “Jadi menurut Ibu kalau ada dosen main lesbian sama mahasiswinya itu ga menjijikkan” balas Pak Dahlan. Rania sudah mau menjerit dan menampar pria ini kalau saja dia tidak  ingat di ruang rapat sana masih ada orang sehingga dia hanya bisa  mengepalkan tangan dan menggigit bibir untuk melampiaskan kekesalan. “Ya itu sih terserah sama Ibu saja kok, saya nggak suka maksa orang,  paling akibatnya Ibu tanggung saja nanti” kata pria itu dengan tenang,  “ah…sekarang saya mau ke toilet dulu nih, kalau Ibu mau nyusul aja yah  ke lantai 14″ Pria itu lalu melangkahkan kaki menuju ke tangga.

 Rania diam terpaku, hatinya gelisah tidak tahu apa yang harus diperbuat. “Lho…Bu lagi ngapain sendirian ? Kok belum turun ?” sebuah suara dari belakang membuyarkan lamunannya. Pak Budi, si rektor universitas menyapanya dengan ramah, bersamanya juga  ada dua orang staff rektorat dan seorang dekan yang keluar belakangan. “Oh, ini Pak baru nelepon ke rumah, jadi belum sempat turun !” balasnya menyapa dengan senyum dipaksa. “O gitu, ya udah kita turun bareng sekarang !” ajak Pak Budi pas ketika lift membuka. “Eehh…saya nanti aja Pak, kalian duluan aja, saya masih harus nelepon  lagi, ada masalah keluarga” kata Rania terbata-bata seraya mengambil  ponselnya pura-pura mau menelepon. “Ibu baik-baik aja kan ? masalahnya tidak serius kan ?” tanya staff rektorat, seorang wanita paruh baya. “Nggak, nggak apa-apa kok, biasa masalah di rumah, ntar juga bisa selesai kok. Iya…gak apa-apa !” jawabnya. “Ya udah Bu, semoga cepat selesai deh, kita duluan ya !” pamit Pak Budi sebelum masuk lift. Setelah lift menutup tinggallah dia sendirian di lantai itu dan  kembalilah kegelisahan itu melandanya. Sepertinya tidak ada pilihan lain  baginya selain menuruti apa yang diminta si dosen bejat itu, lagipula  dirinya toh sudah ternoda dan dua bulan terakhir ini sudah beberapa kali  terlibat hubungan seks dengan Imron, si penjaga kampus, apa bedanya  bila melakukannya dengan Pak Dahlan daripada pria itu nanti ‘bernyanyi’  dalam rapat yang malah mempermalukannya di depan umum. 

Maka Rania  melangkahkan kakinya menuju tangga ke atas ke lantai 14. Lantai 13  gedung itu kosong belum terpakai, sementara ini hanya berfungsi sebagai  gudang. Lantai 14 adalah lantai teratas sebelum atap gedung, disana  terdapat teater yang biasanya dipakai untuk acara seminar, drama, atau  pertunjukkan. Namun dihari-hari biasa tempat itu sepi hampir tidak ada  yang mengunjungi sampai suara langkah kakinya yang memakai sepatu hak  terdengar. Rania menuju ke toilet di lantai itu yang tadi disebutkan  oleh Pak Dahlan. Semakin mendekati tempat itu, langkahnya terasa makin  berat dan detak jantungnya semakin cepat. Di lorong itu terdapat tempat  rias dan cermin-cermin besar tempat make-up, biasanya dipakai untuk  persiapan drama. Pada salah satu sisi lorong tersebut nampak sebuah  toilet pria yang lampunya menyala. Ia membuka pintu toilet itu dengan  tangan bergetar. “Ah…Bu Nia, hampir saja saya pergi, kirain Ibu nggak jadi datang” sapa  Pak Dahlan yang sedang mencuci muka di wastafel, dia hanya melihat dari  cermin tanpa membalikkan badan. “Sudahlah Pak nggak usah basa-basi lagi, saya gak ada banyak waktu untuk anda !” ujar Rania ketus. “Santai aja Bu, masih ada waktu setengah jam-an kok” pria itu membalik badan dan berjalan menghampirinya. 

Rania nampak tegang sekali, beberapa kali dia menelan ludah, punggungnya  bersandar pada tembok karena kakinya agak gemetar. Pak Imron meraih  saklar yang terletak di sebelah Rania dan mematikan lampu. Ruang dengan  dengan dua toilet bersekat itu kini hanya diterangi oleh sinar matahari  dari ventilasi di atasnya. “Nah…begini lebih romantis suasanya, biar lebih enak” katanya sambil menyandarkan telapak tangan kiri di sebelah kepala Rania. Jarak mereka kini begitu dekat sehingga Rania bisa merasakan hembusan  nafas Pak Dahlan pada wajahnya, pria itu lebih pendek sedikit darinya. Rania menepis tangan pria itu ketika hendak meraba dadanya. “Kenapa Bu ? bukannya udah biasa, kalau berubah pikiran ya udah kita keluar aja” “Bajingan !” umpatnya dalam hati. Dengan berat hati diapun membiarkan dadanya dipegang oleh Pak Dahlan.  

Pria itu juga mengendusi daerah leher yang tertutup sedikit oleh rambut  panjangnya. Bau badan Rania yang bercampur parfum menaikkan birahinya  sehingga bibir tebalnya langsung menciumi pipi dosen muda itu. Rania  memejamkan mata menahan jijik, kumis pria itu menyapu wajahnya yang  mulus. Dia memalingkan muka ke arah lain ketika bibir pria itu makin  merambat ke bibirnya. “Jangan…emmhh !” baru mau memalingkan wajah kedua kalinya, Pak Dahlan sudah melumat bibirnya dan meredam protesnya. Spontan bulu kuduk Rania berdiri karena jijik, dia meronta berusaha  melepaskan diri, namun entah mengapa ada hasrat menggebu-gebu yang  menginginkan tubuhnya dimanja sehingga perlawanannya pun hanya setengah  tenaga. Bibirnya yang tadinya dikatupkan rapat-rapat mulai mengendur  sehingga lidah pria itu masuk dan bermain-main dalam mulutnya. Perasaan  Rania campur aduk antara marah, jijik dan terangsang, apalagi Pak Dahlan  terus menggerayangi tubuhnya dari luar pakaian. Berangsur-angsur  rontaannya berkurang hingga akhirnya pasrah menerima apapun yang  dilakukan pria itu. Rania mulai membalas cumbuan pria itu, lidahnya kini  bertautan dengan lidahnya. Desahan tertahan terdengar di antara  percumbuan yang makin panas itu. Merasa lawannya telah takluk, pria itu  mempergencar serangannya. 

Blazer krem itu dilucutinya, Rania sendiri  secara refleks menggerakkan tangannya membiarkan blazer itu terlepas  dari tubuhnya sehingga tinggal tank-top ungu yang membalut tubuh  atasnya. Pak Dahlan menggantungkan blazer itu pada gagang pintu tanpa  melepas ciumannya. Tubuh mereka berdekapan begitu ketat, Rania dapat  merasakan benda keras dari balik celana Pak Dahlan mengganjal  selangkangannya. Tangan Pak Dahlan yang tadinya cuma meremas payudara  dari luar mulai menyusup masuk lewat bawah tank topnya langsung  menyusupi cup branya dan tangan satunya masih tetap meremasi pantatnya. “Eennghh !” Rania makin mendesah merasakan jari-jari besar itu menyentuh putingnya serta memencetnya. Lidahnya semakin aktif membalas lidah Pak Dahlan hingga masuk ke mulut  pria itu menyapu rongga mulutnya, tangannya pun tanpa disadari memeluk  tubuh tambunnya. Nafasnya makin memburu dan gairahnya makin naik. Mulut  Pak Dahlan turun ke dagunya, bawah telinga, dan leher. Rania agak lega  bisa mengambil udara segar walau dengan nafas putus-putus. Pak Dahlan  memutar tubuh Rania menghadap tembok sehingga wanita itu bertumpu disana  dengan kedua lengannya. Ia juga menyibakkan rambut Rania ke sebelah  kiri sehingga mulutnya dapat dengan leluasa menciumi leher, pundak, dan  bahunya yang terbuka. 

Tangan pria itu yang satu lagi ikut menyusup lewat  bawah tank topnya sehingga kini pakaian itu setengah tersingkap. Sambil  mempermainkan kedua payudara wanita itu, Pak Dahlan menciumi leher  jenjangnya. Dengan penuh penghayatan disedotnya kulit leher samping yang  putih mulus itu. “Sshhh…jangan terlalu depan Pak…eeemm…ntar bekasnya keliatan” Rania mengingatkannya dengan suara lirih. “Gak usah kuatir Bu, saya juga ngerti kok, lagian Ibu kan rambutnya panjang bisa buat nutupin” katanya. Rania semakin mendesah, pipinya bersemu merah ketika merasakan lidah  pria itu yang basah pada telinganya, menggelitik dan memancing  gairahnya. “Sudah Pak…jangan disitu !” Rania semakin mendesah waktu Pak Dahlan hendak merogohkan tangannya lewat atas celana panjangnya.. Rania menggerakkan tangannya menahan tangan pria itu yang ingin masuk.  Namun penolakan itu dilakukannya hanya dengan setengah hati karena  walaupun merasa dilecehkan di saat yang sama dia juga sudah terhanyut  dalam pemanasan yang dilakukan dengan cemerlang oleh Pak Dahlan. Gaya  Pak Dahlan yang gentle sangat membuatnya terbuai, berbeda dengan gaya  permainan Imron, si penjaga kampus, yang cenderung kasar. 

Pak Dahlan  memang berpengalaman dan tahu persis bagaimana menundukkan wanita secara  seksual sehingga Rania yang seorang dosen terhormat pun ingin menikmati  buaiannya lebih jauh. Setelah menyentakkan perlahan tangannya pegangan  Rania pun lepas dan langsung ia menyusupkan langannya ke balik celana  wanita itu. Pak Dahlan merasakan bulu-bulu lebat yang tumbuh pada  permukaan vaginanya juga sedikit basah pada bagian belahannya. “Oohh…mmmhh…tolong hentikan !” desahnya antara mau dan tidak. Desahan itu membuat Pak Dahlan semakin bernafsu, dengan nakal jari-jari  besarnya menggerayangi daerah sensitif itu. Mulutnya mencaplok bahu  kanan wanita itu sambil menjilat dan mengisapnya dan tangannya yang  sejak tadi bercokol di payudara makin gencar menyerang. Payudara 34B itu  diremas-remas, putingnya dipilin-pilin atau kadang digesek-gesekan  dengan jarinya sehingga benda itu makin keras saja. Pak Dahlan melebarkan kedua paha Rania dengan menggeserkan telapak  kakinya sehingga dapat lebih menjelajahi vaginanya lebih luas. Tubuh  Rania tersentak saat jari pria itu memasuki liang vaginanya dan mulai  mengorek-ngoreknya. Digesek-geseknya klentitnya dengan jari sehingga  membuat wanita itu semakin seperti cacing kepanasan. 

“Aahh…aahh…saya mohon…nngghh….jangan teruskan” desahnya. “Hehehe…Ibu ini masih pura-pura aja, udah becek gini masih sok suci” ejek Pak Dahlan. Rania yang sudah pasrah hanya bisa mendesah saja merasakan jari-jari  pria itu mengaduk vaginanya. Lima menit Pak Dahlan merogoh-rogoh celana  dalam Rania dengan diselingi beberapa ciuman lalu dia mengeluarkan  tangannya dari sana. Nampak lendir kewanitaan Rania membasahi jari-jari  besar itu. “Hhhmm…enak, lendir yang enak !” katanya sambil mengemut jari tengahnya,  “lihat ini Bu, banyak gini cairannya” didekatkannya tangannya ke wajah  wanita itu. Rania yang merasa tanggung karena hampir mencapai orgasme menurut saja  ketika pria itu meletakkan jarinya yang belepotan itu di bibirnya untuk  diemut. Diemutnya jari itu dan dirasakannya lendir kewanitaannya  sendiri, ini bukan yang pertama kali baginya karena Imron pun pernah  menyuruhnya demikian sehingga tidak ada rasa ragu ataupun risih lagi  dalam melakukannya. “Wah…wah…pinter juga Ibu nyenengin laki-laki, baru emut jari aja udah enak gini, gimana kalau emut kontol” kata Pak Dahlan. Kata-kata itu membuat Rania merasa dilecehkan namun juga membuatnya bergairah. 

Kemudian Pak Dahlan menyuruh dosen muda itu berlutut di hadapannya.  Dengan agak buru-buru dia membuka sabuknya dan menurunkan resletingnya.  Setelah celananya melorot jatuh dia menurunkan celana dalamnya  mengeluarkan penisnya yang telah tegang. Rania terperangah melihat penis  hitam yang berdiameter lumayan besar itu, pangkalnya ditumbuhi  bulu-bulu lebat, kepalanya seperti jamur kemerahan menyembul dari  kulupnya yang bersunat. “Ayo Bu jangan bengong gitu, waktunya mepet nih !” sahut pria itu membuyarkan lamunannya. Dia menggenggam batangnya dan menyodorkannya ke wajah wanita itu. Dengan  ragu-ragu Rania menggerakkan tangannya memegang batang itu. Dia tahu  pria itu menginginkan dirinya melakukan oral pada penisnya, maka tanpa  menunggu perintah lagi dia mengocok perlahan batang itu dan membuka  mulut menjilati permukaan batang itu. Pria itu menarik nafas panjang dan  melenguh merasakan sapuan lidah Rania pada penisnya. 

Sejak menjadi  budak seks, kemampuan Rania dalam berhubungan seks termasuk oral semakin  meningkat dari hari ke hari. Dia semakin menikmati seks walaupun  hubungan itu bertentangan dengan hati nuraninya karena dilakukan dengan  paksaan, dengan tunangannya saja dia baru pernah sebatas petting bahkan  melihat penisnya saja belum pernah, namun dengan lelaki yang dibencinya  telah berbuat sejauh ini, ironisnya malah terbuai dalam kenikmatan  terlarang itu. Setelah menjilati penis Pak Dahlan hingga basah oleh liurnya, Rania mulai memasukkan benda itu ke mulutnya. “Uuuhh…iya, gitu Bu…isap terus !” Pak Dahlan mendesah keenakan. Rania bekerja keras mengulum dan memainkan lidahnya pada batang itu yang  terasa sesak di mulutnya yang mungil. Benda itu bergetar setiap lidah  Rania menyapu kepalanya. 

Pak Dahlan yang merasa nikmat itu  memaju-mundurkan pinggulnya secara perlahan seperti gerakan menyetubuhi. “Mmmm…enak sekali Bu, ga salah kata si Imron !” lenguhnya sambil meremasi rambut Rania. “Iyah Bu…dikit lagi…terus aaahh…saya mau keluar di mulut Ibu !” erang pria itu setelah sepuluh menitan Rania mengoral penisnya. Tak lama kemudian, Pak Dahlan mencapai puncak kenikmatannya dengan  mengeluarkan cairan putih kental dari penisnya. Cairan hangat itu  menyemprot di dalam mulut Rania yang langsung ditelannya agar tidak  terlalu terasa di mulut. Cairan itu meleleh sedikit di ujung bibirnya  karena mulutnya terasa sesak sehingga tidak bisa menelan dengan  sempurna. Penis itu semakin menyusut seiring semprotannya yang semakin  lemah. Akhirnya dia melepaskan penisnya dari mulut wanita itu. Rania  merasa pegal pada mulutnya karena sesak dan harus bekerja keras sejak  tadi, dia juga nampak terengah-engah mengambil udara segar. “Bagus Bu, awal yang bagus…kita akan lanjutkan setelah rapat” kata Pak  Dahlan sambil membenahi celananya, “yuk kita turun, sudah mau mulai lagi  !” “What…lagi ? jadi ini baru awal ?” kata Rania dalam hatinya. “Saya turun duluan yah Bu, Ibu beres-beres aja dulu, masih lima menit  lagi kok” katanya, “dan…kalau masih mau terus saya tunggu di ruang saya  setelah rapat” sambungnya lagi sebelum menutup pintu meninggalkannya  sendirian di ruang itu. Rania berdiri dan merapikan lagi pakaiannya yang tersingkap sana-sini,  dipakainya kembali blazernya. 

Kemudian dia berjalan ke wastafel untuk  mencuci tangan dan berkumur-kumur. Setelah memoles kembali bibirnya  dengan lipstik dan menyisir rambutnya, diapun keluar dari sana dan  kembali ke ruang rapat. Perasaan kesal sekaligus terangsang melingkupi  dirinya. Untuk sementara hal tersebut terabaikan karena di sesi kedua  rapat ini ia harus mencatat beberapa hal penting yang harus dia  sampaikan pada kepala jurusannya. Rapat baru bubar pada pukul setengah  dua. “Saya tunggu di ruang saya yah Bu, lantai tiga gedung arsitektur” kata  Pak Dahlan yang menghampirinya yang sedang membereskan barang-barangnya. “Gak bisa sekarang Pak saya masih ada urusan !” jawab Rania ketus namun pelan agar tidak memancing pelan. “Jadi jam berapa Bu ?” “Gak tau ah, sejam lagi aja, saya sibuk, permisi !” jawabnya sambil bangkit berdiri dan melengos begitu saja dengan sikap judes. Rania turun ke kantin bawah dan membeli makan. Perutnya terasa lapar  sekali karena jam makan siangnya tertunda gara-gara dosen bejat itu.  Setelah selesai makan dia kembali ke ruang dosen fakultasnya untuk  menyelesaikan tugasnya yaitu membereskan sisa koreksian hari itu.  Setelah pekerjaan itu beres dalam waktu duapuluh menit, hal yang  mengganjal pikirannya itu datang lagi. Benar-benar bingung  memikirkannya, kok rasanya dirinya yang terpelajar ini sudah tidak beda  dari pelacur, apa yang akan dikatakan pada tunangannya nanti setelah  pria itu kembali dari studinya di luar negeri, apakah dia masih sanggup  menatap wajah kekasihnya itu dengan keadaan sudah ternoda seperti  sekarang. 

Pikiran-pikiran seperti itu seringkali mengusiknya, namun  ketika harus menunaikan kewajibannya sebagai budak seks dia justru  terlarut di dalamnya, tidak bisa untuk tidak menikmati, bahkan terkadang  hasrat liar itu muncul sendiri dari dalam dirinya. “Hai Nia…kamu nggak enak badan ?” tanya seorang dosen pria melihatnya  melamun dengan menyandarkan kepala pada kedua telapak tangan. “Eehh…nggak…ga papa kok Ton, baru nyelesaiin koreksian aja, capek dikit hehe !” jawabnya berkelit. Merasa tidak ada lagi yang perlu dikerjakan akhirnya Rania membereskan  barang-barangnya untuk pulang, tentunya sebelumnya ia harus  menyelesaikan tugas terakhirnya…melayani Pak Dahlan. Dia pun berpamitan  pada beberapa rekan dosen yang masih ada di ruang itu dan keluar dari  situ. Dengan jantung deg-degan dan langkah berat ia berjalan menuju ke ruang  kerja pria itu di gedung fakultas arsitektur. 

Diketuknya pintu ruang itu  sesampainya di sana. “Iya…masuk aja !” terdengar suara dari dalam yang dikenalnya. “Bu Nia…saya sudah lama menunggu” sapa pria itu dari balik meja kerjanya  “tolong ya Bu pintunya sekalian dikunci dan tirainya tutup yah, supaya  nyaman !” Rania membanting pantatnya ke sofa setelah menutup tirai. Pak Dahlan  tersenyum dan menghampirinya, dia duduk di sebelah Rania dan  melingkarkan tangannya ke bahu dosen muda itu. “Minum dulu Bu !” katanya menawarkan segelas air yang sebelumnya diambil  dari dispenser, “sebelumnya saya ingin mengenal Ibu lebih dalam dulu,  eehhmm…apa Ibu sudah punya pacar ? selama ini saya lihat Ibu selalu  datang dan pulang sendiri” “Itu bukan urusan Bapak, apa kita bisa cepat dikit ? saya capek, mau  pulang !” sahut Rania dengan hambar sambil meletakkan gelasnya di meja. “Aduh, Ibu ini kok ketus banget ke saya ? Oh…iya gimana Bu hubungannya sama si Imron, gimana kesan-kesan Ibu ?” tanyanya lagi. 

Rania benar-benar kesal dengan sikapnya yang menyebalkan itu, apalagi  ketika mengungkit-ungkit tentang yang terakhir itu. Dia menoleh menatap  wajah pria itu. “Pak please yah, saya udah bilang saya nggak banyak waktu, kenapa sih  gak to the point aja !” sehabis berkata dia langsung mendorong dada pria  itu dengan kedua tangannya hingga tubuh tambun itu terjungkal ke  belakang. Sebelum Pak Dahlan sempat bangun, Rania sudah berada diatas tubuhnya dan  memeluknya. Bibirnya langsung menempel di bibir tebal pria itu  menciuminya dengan ganas. Rasa kesal bercampur gairah yang masih tersisa  dari pemanasan tadi siang membuatnya nekad mengambil inisiatif memulai  duluan. Yang diinginkan pria ini toh hanya tubuhnya, kenapa sih harus  buang-buang waktu sampai mengungkit-ungkit masalah pribadi segala,  demikian pikirnya. Entah setan apa yang merasukinya sehingga menjadi  seliar itu, mungkin dengan cara demikianlah ia melampiaskan  kekesalannya. Sambil terus berciuman ia menggesekkan dadanya yang  menempel dengan dada pria itu, bukan itu saja, ia juga menggerakkan  tangannya menjamah selangkangan serta mengelus-elusnya. 

Perlahan benda  di balik celananya itu makin mengeras. “Hoo…ho…ga usah nafsu gitu Bu, santai saja !” gumamnya perlahan. “Sudahlah Pak, nikmati saja atau tidak sama sekali” bisik Rania dengan suara sedikit mendesah di dekat telinganya. Di bawah sana Rania telah membuka resleting celana pria itu dan  mengeluarkan penisnya yang sudah tegang dari lubang resleting itu. Wajah  pria itu menunjukkan ekspresi nikmat akibat belaian tangan Rania pada  penisnya. Rania menegakkan tubuhnya sejenak untuk melepaskan blazernya.  Setelah melempar blazer itu ke sofa pendek di samping, dia menggeser  tubuhnya ke bawah, disana ia membungkuk dan memasukkan penis itu ke  mulutnya. Di dalam mulut benda lidahnya bermain-main memanjakan benda  itu, sesekali disertai hisapan. “Ooohh…Bu Nia, anda ngapain…uughh !” erang Pak Dahlan yang masih bengong dengan perubahan sikap Rania. Rania sendiri tidak tahu kenapa dirinya menjadi senekad ini, yang jelas  dia merasa gairahnya menggebu-gebu. Hal yang sering dialaminya sejak  menjadi budak seks, kadang pelecehan dan kata-kata yang merendahkannya  justru memancing gairahnya. 

Benci dan birahi bercampur membentuk gairah  yang liar seperti yang sekarang ini. Ia mengisapi kepala penis Pak  Dahlan yang bersunat itu tanpa canggung, kadang lidahnya menjilati  ujungnya sehingga pria tambun itu belingsatan keenakan. “Aarghh…saya…mau keluar, stop dulu Bu…stop !” erang pria itu. Pak Dahlan bangkit dan mengangkat tubuh Rania yang sedang mengoralnya  serta mendorongnya ke belakang hingga terbaring di sofa. Kini pria itu  berada di atas tubuhnya, wajah mereka saling bertatapan dalam jarak  kurang dari sejengkal. “Itu yang anda mau kan ? bangsat !” ujar Rania dengan sinis. “Hehehe, Ibu memang pintar, saya yakin kita bakal sama-sama puas, saya  sudah sering main sama mahasiswi, tapi baru kali ini sama dosen” katanya  sambil mengelus pipi wanita itu. “Dasar serigala berbulu domba, anda tidak malu dengan kelakuan anda hah !?” “Kenapa harus malu, toh mereka yang datang pada saya, saya hanya  menyetujui tawaran saja, lagipula mereka juga enjoy kok” jawabnya  santai, “jangan munafik Bu, manusia butuh seks, toh Ibu sendiri juga  menikmati kan, apakah bercumbu dengan mahasiswi dan terlibat seks dengan  penjaga kampus tidak memalukan bagi Ibu” “Lebih baik cepat selesaikan nafsu iblis anda” tidak ingin mendengar  ocehan pria itu lebih panjang, Rania langsung melumat bibir tebal pria  itu begitu menyelesaikan kata-katanya. Sambil berciuman pria itu menyingkap tank-top Rania beserta bra tanpa  tali bahunya. 

Desahan tertahan terdengar dari mulutnya ketika jari-jari  besar itu memencet putingnya. Pak Dahlan menggeser bibirnya menciumi  leher jenjang itu terus turun hingga ke payudaranya. Sebelum menikmati  kedua gunung kembar itu, dia melepaskan terlebih dulu kait bra itu lalu  menjatuhkannya ke lantai. Mata pria itu memandang nanar pada payudara  34B dengan puting kemerahan itu. Kedua tangannya langsung meremas  sepasang daging kenyal itu, lidahnya menjilati melingkar di daerah  areolanya lalu menyentil-nyentil benda mungil yang sensitif itu sehingga  pemiliknya tidak bisa menahan desahan. Tangannya yang satu merayap ke  bawah melepaskan sabuk Rania, lalu melepaskan kancing celananya disusul  resletingnya. “Aaahh…aahhh…Pak !” desah Rania dengan nikmatnya ketika pria itu  mengenyoti putingnya sambil merogohkan tangannya ke balik celana  dalamnya. Kedua matanya terpejam sambil menggigit bibir bawah, tangannya  meremas-remas rambut Pak Dahlan yang sedang asyik menyusu darinya.  Dengan penuh perasaan Pak Dahlan meremas, menciumi dan menjilati kedua  payudara Rania secara bergantian. Hal ini membuat birahi Rania bergolak  hebat, dia tak bisa menyangkal bahwa pria yang dibencinya ini telah  sanggup membuatnya serasa terbang. 

Setelah puas menyusu, Pak Dahlan  bangkit sebentar untuk melepaskan pakaiannya sendiri. Rania memandangi  tubuhnya yang gempal hitam dengan sedikit bulu di dadanya itu, penisnya  mengacung tegak diantara kedua pahanya. Setelah membuka pakaiannya pria itu melepaskan sepatu yang dipakai Rania  lalu melepaskan celana panjangnya. Sepasang pahanya yang panjang dan  putih mulus itu kini tidak tertutup apa-apa lagi, yang masih tersisa di  tubuhnya hanya tank-top yang sudah tersingkap dan celana dalam pink  berenda. Pak Dahlan memandang tubuh seksi itu dengan bernafsu dan  mengelusinya. “Paha yang indah, benar-benar indah !” pujinya sambil mengelus paha itu dengan tangan bergetar. Darah Rania berdesir seiring dengan sentuhan erotis itu dan terpaan AC  yang langsung mengenai tubuhnya. Pria itu juga memberi kecupan-kecupan  ringan dan jilatan pada kulit pahanya yang mulus. 

Perlahan-lahan ia  memeloroti celana dalam itu hingga lepas. Tangan pria itu terus  menggerayangi tubuh Rania dengan lihainya, memberinya sensasi nikmat  pada setiap daerah sensitif. Kemudian didorongnya tubuh dosen muda itu  ke belakang hingga mentok ke sandaran tangan pada sofa itu. Rania kini  duduk menyamping di sofa itu. Pak Dahlan melebarkan sepasang pahanya  lalu merunduk serta mengarahkan wajahnya ke selangkangan wanita itu. “Aakkhh” desah Rania sambil menggeliat begitu lidah Pak Dahlan menyapu bibir vaginanya. Lidah itu terus bergerak masuk menyentuh bagian lebih dalam dari  vaginanya. Kenikmatan makin menjalari tubuhnya membuat wajahnya memerah  dan nafasnya makin memburu. Setelah lima menitan menikmati vagina Rania, Pak Dahlan memintanya  melakukan posisi 69, yaitu saling mengoral kelamin pasangan dalam saat  bersamaan. Rania yang sudah horny itu menurut saja disuruh naik ke wajah  pria itu. 

Pak Dahlan meneruskan lagi jilatannya pada vagina wanita itu,  kali ini sambil merasakan nikmatnya kuluman Rania pada penisnya. Ketika  sedang asyik-asyiknya menikmati vagina Rania, tiba-tiba ponselnya  berbunyi tanda SMS masuk. Ia mengambil ponsel itu dari kantong celananya  yang diletakkan tidak jauh dari situ sementara tangan satunya tetap  mengorek-ngorek vagina Rania. Hanya SMS dari sesama dosen ternyata yang  memberitahukan masalah pekerjaan. Setelah selesai membaca SMS itu, Pak  Dahlan memencet nomor lagi untuk menghubungi seseorang. “Hoi, Ron pakabar nih ?” sapanya pada orang disana.”saya sekarang lagi  sama Bu Rania nih, itu tuh dosen yang lu kasih tau Rabu kemaren” Ternyata dia menghubungi Imron untuk memberitahukan keberhasilannya menggaet dosen muda itu. “Enak banget loh Ron sepongannya, wuih…yahud !” katanya di telepon. “Bener kan Pak apa kata saya juga, dosen juga manusia kalau udah  terangsang ya ga beda sama lonte hahaha !” kata Imron di telepon. “Dasar dua bajingan tengik !” maki Rania dalam hati, dia memperkuat hisapannya sebagai pelampiasan. “Uooh…gila nih Ron, kontol gua lagi diisep, enak banget !” katanya “eh,  mau bergabung ga, udah jam segini nyantai kan ?” tawarnya. “Ohh, ga deh Pak, enjoy aja dulu, saya juga lagi sibuk nih” jawab Imron  “Uuhhh !” Pak Dahlan samar-samar mendengar suara desahan wanita di  seberang sana. 

“Wahaha…lagi asyik juga toh lu Ron, itu suara apa tuh, hayo !” “Iyalah Pak biasa abis jam sibuk gini kan enaknya cari penyegaran dikit”  jawab Imron yang saat itu sedang berbaring di dipan di ruangannya  menikmati Joane yang sedang melakukan woman on top posisi memunggungi di  atas penisnya. “Ya udah selamat bersenang-senang yah !” “Yok Pak sama-sama salam buat Bu Rania yah, hehe” balas Imron lalu dia menutup ponselnya. “Ayo manis, kita ganti gaya !” perintahnya sambil mendekap tubuh Joane yang pakaiannya telah tersingkap sana-sini. Dia lalu menindih tubuh gadis itu dan memasukkan kembali penisnya  bersiap untuk gaya misionaris. Tapi agaknya kita harus meninggalkan  Imron dan Joane karena episode ini bukanlah porsinya mereka. Yah,  sebaiknya kita kini kembali pada Rania dan Pak Dahlan yang juga sedang  berasyik-masyuk. Rania sedang menaik-turunkan kepalanya melayani penis Pak Dahlan. Dia  merasakan jari Pak Dahlan bergerak memutar-mutar dalam vaginanya dan  juga lidahnya yang nakal itu terus saja menjilati daerah kewanitaannya  sehingga makin menaikkan birahinya. 

Vagina Rania makin berlendir karena  terus-menerus dirangsang sedemikian rupa dan nampaknya pria itu sangat  menikmati cairan itu yang dijlatinya dengan bernafsu. Ketika di ambang  orgasme, sekali lagi dia menyuruh Rania berhenti mengulum, ia ingin  menikmati tubuh wanita itu sepenuhnya sehingga tidak mau cepat-cepat  keluar. Kini diperintahkannya Rania menaiki penisnya. Tidak terlalu  sulit penisnya memasuki vagina itu karena sudah basah dan licin. Erangan  Rania turut mengiringi proses penetrasi itu hingga akhirnya penis itu  tertancap seluruhnya. “Mmhhh…enak Bu, memek Ibu legit sekali !” gumam Pak Dahlan merasakan himpitan dinding vagina Rania terhadap penisnya. Tanpa menghiraukan ocehan Pak Dahlan, Rania mulai menggoyangkan tubuhnya  naik-turun. Sesekali ia meliukkan pinggulnya sehingga Pak Dahlan merasa  penisnya seperti dipelintir. 

Secara refleks tangannya yang saling  genggam dengan tangan pria itu membimbingnya ke salah satu payudaranya  seolah meminta pria itu meremasinya. Pak Dahlan mulai memainkan  payudaranya dan tangan satunya menelusuri tubuh yang molek itu,  merasakan kulitnya yang halus dan lekuk tubuhnya yang indah. Rania sudah  semakin hanyut dalam persetubuhan itu walaupun pada awalnya  dilakukannya dengan terpaksa. “Yah…terus Bu, enak…terushh !” desah pria itu seiring genjotan Rania yang semakin liar karena semakin dikuasai birahi. Kemudian Rania menegakkan tubuhnya sejenak untuk melepaskan tank topnya  yang tersingkap, satu-satunya pakaian yang masih tersisa, sehingga kini  keduanya telanjang bulat. Dari bawah Pak Dahlan juga ikut menggerakkan  pinggulnya, tumbukkan mereka yang saling berlawanan arah itu menyebabkan  penis itu menusuk lebih dalam. Rania tidak menghiraukan yang lain lagi  selain birahinya yang menuntut pemuasan, rasio, hati nurani, dan  perasaan-perasaan lainnya untuk sementara terkubur. “Gimana Bu Nia ? Enak ga kontol saya ?” tanya Pak Dahlan yang merasa telah menaklukkannya. “Aahh…ahhh…enak Pak…terus…goyang terus Pak !” erang Rania tanpa malu-malu lagi. 

Tidak sampai sepuluh menit setelahnya, Rania mulai sampai ke puncak,  otot-otot vaginanya berkontraksi dengan cepat dan makin basah. Dia  menambah kecepatan goyangannya sehingga pria itu juga makin mendesah. “Oohhh !” Rania menggelinjang dahsyat di atas tubuh tambun Pak Dahlan. Selama beberapa saat tubuhnya menegang tak terkendali, dinding vaginanya  makin meremasi penis pria itu sehingga diapun tak mampu menahan  ejakulasinya. “Ooohh…saya juga keluar Bu !” erangnya menyambut gelombang orgasme, spermanya menyemprot deras mengisi vagina Rania. Tubuh mereka berangsur-angsur melemas kembali. Rania ambruk diatas tubuh  Pak Dahlan dengan nafas tesenggal-senggal dan bersimbah keringat, penis  itu masih menancap di vaginanya. Senyuman puas terlihat pada wajah pria  itu karena berhasil menikmati dosen cantik bertubuh molek ini. “Hebat, enak sekali Bu, Ibu memang pintar memuaskan pria” kata Pak  Dahlan sambil mengelus rambut panjang Rania yang agak bergelombang. “Persetan lah !” omel Rania dalam hati. Rania yang kesadarannya mulai pulih merasakan dirinya benar-benar kotor,  dia ingin melawan namun tidak sanggup apalagi dalam keadaan seperti ini  dan dibawah tekanan. 

Namun dia juga harus mengakui dirinya sangat  menikmati persetubuhan dengan pria tambun yang umurnya dua kali lipat  dirinya itu. “Misi bentar Bu, saya mau ambil minum dulu” sahut Pak Dahlan seraya  menurunkan tubuh Rania hingga terbaring di sofa, lalu berjalan ke arah  dispenser. Setelah minum seteguk, dia menyodorkan gelas yang tinggal setengah  isinya itu pada Rania. Rania mengambil gelas itu lalu menggeser tubuhnya  agak bersandar pada sandaran tangan. Air itu memberinya sedikit  kesegaran pada tenggorokkannya yang terasa kering karena mendesah juga  mengembalikan sedikit tenaganya. Pak Dahlan terus memperhatikan Rania sementara dia sedang meneguk  minumannya, diperhatikannya lehernya yang jenjang itu berdenyut-denyut  karena meneguk air, tubuh telanjangnya dengan payudara putih montok,  perut rata, dan paha yang panjang dan mulus, semua itu membuat birahi  Pak Dahlan kembali naik. Setelah air dalam gelas itu habis, Pak Dahlan mengambilnya dan  meletakkannya kembali di atas meja. Didekapnya tubuh Rania dengan  tangannya yang kokoh dan tangan yang satunya menyeka keringat di  dahinya. Rania dengan ketus menepis tangan pria itu. “Gak usah sok sayang gitu, Bapak bukan siapa-siapa saya !” katanya ketus sambil menyeka sendiri keringat di dahinya. 

Pak Dahlan hanya senyum-senyum saja melihat reaksi Rania, karena dia  malah senang dengan korban yang reaksinya sok jual mahal seperti ini.  Kemudian dia meraih salah satu payudara wanita itu dan menundukkan  kepala. “Oouucchh !” rintih Rania dengan wajah meringis karena Pak Dahlan menggigiti putingnya. Tubuh Rania menggeliat sambil tangannya mendorong-dorong kepala pria itu  karena dia terus menggigiti putingnya dengan menggetarkan giginya,  rasanya ngilu dan sakit, tapi juga…enak. “Aduh…aah…jangan terlalu keras Pak…aahh…sakit !” rintihnya sambil meremas-remas rambut pria itu. Pak Dahlan akhirnya melepaskan juga gigitannya pada puting Rania setelah  beberapa saat kepalanya didorong-dorong hingga rambutnya agak  acak-acakan. Dia tersenyum nakal melihat wajah Rania yang bersemu merah  karena terangsang oleh gigitannya. Kemudian pria itu menundukkan kepalanya hendak mengarah ke payudaranya lagi. “Sudah Pak, jangan lagi…eeengghh !” ternyata kali ini bukan gigitan melainkan sapuan lidah yang diterimanya. Kali ini Rania merasa lebih nyaman setelah tadi putingnya sempat panas  nyut-nyutan akibat gigitan pria itu. 

Jilatan-jilatan itu membuatnya  kembali bergairah. Memang Pak Dahlan sangat lihai mempermainkan nafsu  korban-korbannya sehingga mereka takluk padanya. Sambil terus menjilati  putting itu, tangan Pak Dahlan merambat ke bawah menyentuh kemaluannya.  Rania makin mendesah dan menggeliat saat jari-jari besar itu mengelusi  bibir vaginanya. Pria itu naik ke sofa menindih tubuhnya, kali ini  mulutnya naik mencupangi leher jenjangnya sambil tangannya terus  mengorek-ngorek vaginanya. Tak lama kemudian Rania merasakan benda  tumpul didorong-dorong hendak memasuki vaginanya. Dia mendesah menahan  sakit saat penis itu menyeruak masuk ke dalam vaginanya. Penis itu tidak  terlalu sulit melakukan penetrasi karena vagina Rania sudah becek  sekali. “Uhhh…enaknya, memek Ibu emang seret banget !” dengus pria itu. Pak Dahlan mulai menggerakkan pinggulnya menyodoki vagina Rania dengan  penisnya. Terdengar suara seperti tepukan setiap kali selangakangan  mereka bertumbukkan. 

Pompaan Pak Dahlan kadang keras tapi kadang juga  lembut sehingga membuat Rania larut menikmati persetubuhan itu. Setelah lewat seperempat jam Rania tidak mampu lagi menahan orgasme. Dia  mendesah panjang dan mengeluarkan banyak sekali cairan dari vaginanya.  Tubuhnya mengejang dan memeluk erat-erat tubuh Pak Dahlan yang  menindihnya. Pak Dahlan sendiri masih belum mencapai puncak, dia terus  menggenjoti Rania semakin ganas karena sensasi nikmat yang didapat dari  kontraksi dinding vagina wanita itu ketika orgasme yang semakin erat  menghimpit penisnya. Tak lama kemudian ketika di ambang orgasme, pria  itu mencabut penisnya dari vagina Rania. Cairan lendir meleleh-leleh  dari batang itu dan membuatnya terlihat mengkilap ketika baru saja  ditarik lepas dari liang vaginanya. Kemudian pria itu naik ke dada Rania  dan menjepitkan penisnya dengan kedua payudara montok itu. Rania yang  masih lelah pasca orgasme hanya pasrah saja membiarkan pria itu  melakukan breast-fucking terhadapnya. Penis yang sudah licin itu maju  mundur dengan lancar diantara kedua gunung kembarnya. 

Dia sedikit  merintih karena Pak Dahlan terkadang meremas payudaranya terlalu keras.  Tidak sampai lima menit, pria itu mengerang nikmat dan menyemprotkan  spermanya. Cairan seperti susu kental itu mengenai wajah Rania, terutama  daerah dagu dan mulut, juga menciprati leher dan dadanya. Tubuh gempal  itu berkelejotan meresapi gelombang orgasme yang melandanya. Setelah  spermanya tidak keluar lagi, pria itu turun dari dada Rania dan duduk di  sofa itu. Sambil beristirahat tangannya iseng mengolesi cipratan  spermanya di dada wanita itu hingga merata. Rania, dengan tenaga yang sudah mulai terkumpul, menggerakkan tangannya dan menepis tangan pria itu dari dadanya. “Jangan gitu dong Pak, lengket tau gak !?” bentaknya lemas. “Hehehe…puas banget saya Bu, lain kali lagi yah” pria itu berkata dengan nafas berat kelelahan. Rania memutuskan untuk secepatnya angkat kaki dari tempat itu sebelum  pria itu pulih dan mengerjainya lagi. Maka dia buru-buru turun dari sofa  dan memunguti pakaiannya lalu memakainya kembali, sebelumnya dia  mengelap ceceran sperma di tubuhnya dengan tisue yang dibasahi air.  Tanpa memberi salam selain tatapan marah dia keluar dari ruangan itu dan  menutup kembali pintunya dengan setengah dibanting. “Dasar bajingan ga bermoral, munafik !” makinya dalam hati sambil terus berjalan. 

Detak jantung Rania tertahan sejenak ketika dilihatnya sesosok tubuh  yang dikenalnya muncul dari arah tangga lantai bawah, seseorang yang  dikenalnya. Di koridor lantai dua yang sudah sepi itu dia berpapasan dengan Imron yang baru saja naik dari lantai satu. “Woo…hoo…Bu Nia, baru beres sama Pak Dahlan yah, gimana acara gininya Bu  ?” sapanya sambil menunjukkan jempol yang diselipkan antara telunjuk  dan jari tengahnya. Rania terus saja melengos tanpa menjawabnya, sungguh benci dia pada pria  yang telah merenggut kesuciannya dan menjerumuskannya dalam lembah  nista. “Yee…ditanya diem aja, dasar dosen lonte !” kata Imron seraya menepuk pantat Rania yang berlalu sambil mengacuhkannya. Rania menengok dan memelototinya, namun ia tidak bisa lebih berbuat  lebih selain mempercepat langkahnya agar menjauh dari pria itu,  untunglah Imron tidak macam-macam karena dia baru menuntaskan hajatnya  dengan Joane beberapa saat lalu. “Gimana Pak barang barunya, sedap gak ?” tanya Imron yang menemui Pak Dahlan di ruangannya. “Ya sedap toh, puas banget nih saya, hebat lu Ron bisa dapetin dosen,  kalau mahasiswi bispak sih saya udah biasa, tapi kalau dosen bispak baru  luar biasa, hahaha” katanya berkelakar. Kedua penjahat kelamin itu pun tertawa-tawa penuh kemenangan.

Terkait

Description: Cerita Dewasa | Seks Nikmat Di kampus Rating: 4.5 Reviewer: Unknown ItemReviewed: Cerita Dewasa | Seks Nikmat Di kampus
Al
Mbah Qopet Updated at: 18:47

3 comments:

  1. Butuh bandar togel terpercaya ?
    aman dan dibayar full 100% ?

    Yuk jadi member di togel pelangi saja bos

    - Bonus deposit
    - Livechat 24 Jam
    - CS Ramah 24 Jam siaga
    - Jackpot SGP Diundi

    Informasi lebih lanjut
    BBM : D8E23B5C
    WHAT APPS : +85581569708
    LINE : togelpelangi
    WE CHAT : togelpelangi
    LIVE CHAT 24 JAM : WWW-ANGKAPELANGI-NET

    ReplyDelete
  2. Nonton Film Bokep Terbaru dan Viral 2020 Banyak versi
    Link nya di bawah cok pilih salah satu aja yeee

    BOKEP

    BOKEP VIRAL

    BOKEP INDO

    BOKEP INDO

    BOKEP BARAT

    BOKEP PEMERKOSAAN

    BOKEP BARAT TERBARU

    buruan sebelum di hapuss

    ReplyDelete